Pengaruh Personality Big Five dan Pola Asuh Orang tua terhadap Kecenderungan Berprilaku Bullying
Latar
Belakang Masalah
Menurut
Santrock (2007), Masa remaja sebagai periode transisi perkembangan masa
kanak-kanak dengan masa dewasa, yang melibatkan perubahan-perubahan biologis,
kognitif, dan sosio-emosional.
Tugas remaja adalah mempersiapkan diri untuk memasuki masa dewasa. Masa remaja dimulai pada usia 10-13 tahun dan berakhir pada usia 18 hingga 22 tahun. Masa remaja awal menurut Hurlock (1980) merupakan fase negatif, kehilangan sifat-sifat baik yang sebelumnya sudah berkembang. Fase negatif ini bisa terjadi karena lingkungan, keluarga dan diri sendiri. Hurlock juga menjelaskan bahwa masa remaja awal ini memiliki sedikit simpati dan pengertian yang diterima anak puber dari lingkungannya.
Tugas remaja adalah mempersiapkan diri untuk memasuki masa dewasa. Masa remaja dimulai pada usia 10-13 tahun dan berakhir pada usia 18 hingga 22 tahun. Masa remaja awal menurut Hurlock (1980) merupakan fase negatif, kehilangan sifat-sifat baik yang sebelumnya sudah berkembang. Fase negatif ini bisa terjadi karena lingkungan, keluarga dan diri sendiri. Hurlock juga menjelaskan bahwa masa remaja awal ini memiliki sedikit simpati dan pengertian yang diterima anak puber dari lingkungannya.
Kondisi
remaja yang memiliki sedikit simpati dan kehilangan sifat-sifat baik yang
sebelumnya berkembang ini dapat menimbulkan masalah. Karena ketika sifat baik
menjadi hilang, maka yang muncul adalah sifat yang tidak baik, yang dapat
mengantarkan remaja pada pengalihan kreativitasnya yang positif kepada yang
negatif. Jika hal ini tidak dilakukan pencegahan maka akan diprediksi memiliki
perilaku menyimpang. Perilaku menyimpang yang banyak dilakukan oleh remaja atau
siswa yang berada di sekolah bisa berupa pemalakan, intimidasi, pelecehan
secara verbal, menyakiti secara fisik, dan bisa mengganggu psikologis remaja
dengan mempermalukan orang lain di muka umum. Perilaku menyimpang ini dapat
disebut dengan istilah bullying.
Bullying adalah suatu
bentuk kekerasan yang biasanya bentuk dari ketidaksukaan pelaku kepada korban,
penindasan dari orang yang kuat terhadap orang yang lemah. Perilaku bullying itu bisa terjadi dalam bentuk
fisik berupa memukul, menghajar, menendang, mencubit, memalak. Verbal seperti mencaci,
memaki, mencemooh, mengancam. Psikis seperti dijauhi, disinisi, difitnah,
diintimidasi, direndahkan, dipermalukan di depan umum. Dan non psikis seperti dipandang
sinis, dipandang merendahkan, merusak barang-barang, diteror. Namun, SEJIWA
(2008) membagi wujud bullying menjadi
tiga, yaitu: verbal, fisik, dan mental atau psikologis.
Fenomena
bullying ini sering terjadi di
sekolah-sekolah. Adapun data survey yang diperoleh yaitu sekolah-sekolah
di Amerika sering dianggap sebagai tempat yang berbahaya oleh banyak siswa.
Fried dan Fried (1996, dalam Blood & Blood, 2004) melaporkan
bahwa lebih dari 160.000 anak-anak tidak bersekolah harian karena takut diserang
dan menjadi korban oleh pelaku bullying.
Dalam seminggu, siswa menerima rata-rata 230 ejekan lisan, atau sekitar 30 kali
per hari (Garrett, 2003 dalam Blood & Blood,
2004). Pada studi ekstensif dari 15.686 siswa di Amerika Serikat, hampir
30% dari semua anak di sekolah terlibat dalam perilaku bullying (Nansel et al., 2001 dalam
Blood & Blood, 2004). Tiga belas persen anak-anak dalam studi mereka
mengidentifikasi diri sebagai pengganggu, 11% mengidentifikasikan diri sebagai
korban, dan 6% mengidentifikasi diri sebagai keduanya yaitu pengganggu dan
korban.
Menurut data survey pada 150.000 anak yang dilakukan oleh Olweus pada
1980an di Skandinava diperoleh 15 persen usia 8-16 tahun terlibat sebagai
pelaku dan korban bullying, 9 persen
sebagai korban, dan 6-7 persen sebagai pelaku (Olweus, 2003). Pada tahun 2001
mereka mengadakan survey kembali sekitar 11000 siswa di 45 sekolah SD dan SMP,
hasilnya terjadi peningkatan 50 persen dari tahun 1983, sering terjadi bullying yang serius 65 persen setiap
minggu (Olweus, 2003).
Berdasarkan hasil
survey global juga yang dilakukan oleh Latitude News (BeritaEdukasi.com, 2012). Menemukan fakta-fakta baru yang
mengejutkan. Murid laki-laki ternyata lebih banyak mengalami kasus bullying dibanding murid perempuan dan
pada 40 negara yang di survey terdapat negara-negara dengan tingkat bullyingnya paling banyak, yaitu
berturut-turut, Jepang, Indonesia, Kanada dan Amerika Serikat, serta terakhir
Finlandia. Sementara di Indonesia paling banyak melakukan tindakan bullying di media sosial.
Selain presentase
Negara, di kota-kota Indonesia telah di survey oleh survey Plan Indonesia dan
Yayasan SEJIWA (menulisopini.wordpress.com,2014)
dengan 3 kota besar yaitu Jakarta, Yogyakarta dan Surabaya pada tahun 2008
lalu, 67% pelajar siswa SMP dan SMA
menyatakan tindak bullying pernah
terjadi di sekolah mereka. Sementara berdasarkan data laporan kasus yang masuk
ke Komnas Perlindungan Anak per November 2009 (menulisopini.wordpress.com, 2014) setidaknya
terdapat 98 kasus kekerasan fisik, 108 kekerasan seksual, dan 176 kekerasan
psikis pada anak yang terjadi di lingkungan sekolah.
Hal
yang menunjang data survey adalah fenomena yang terjadi dan muncul di media.
Yaitu munculnya kabar-kabar mengenai aksi negatif yang terjadi di kalangan
pelajar khususnya Siswa Menengah Atas (SMA). Seperti kasus 13 orang siswa SMA
Negri 70 Jakarta yang dikeluarkan diduga melakukan tindak penindasan pada Juli
2014 (news.liputan6.com, 2014). Masih di
sekolah yang sama, yaitu sebanyak 13
siswa SMA Negeri 70 Bulungan, Jakarta Selatan dikeluarkan dari sekolah lantaran
melakukan pelanggaran, yaitu melakukan bullying terhadap juniornya (news.okezone.com, 2014). Dan juga kasus tawuran yang dilakukan anak Sekolah Menengah Kejuruan
(SMK) Setia Budi Rangkas Bitung, Serang, dan SMK Sasmita Jaya, Pamulang yang
diamankan oleh polisi (article,wn.com, 2014).
Selain
data yang di dapatkan melalui data survey dan data kasus pada media, penulis
juga mengadakan suatu studi awal. Dalam studi awal yang dilakukan oleh penulis
dengan mewawancarai 19 orang siswa dan siswi SMK N 1 Rangkasbitung pada tanggal
22 November 2014 di bumi perkemahan Ciuyah Rangkasbitung. Penulis menanyakan
lima pertanyaan kepada siswa dan siswi mengenai pengetahuan mereka tentang bullying, faktor yang mempengaruhi bullying, Tempat terjadinya bullying, dan masalah yang sering muncul
setelah perilaku bullying.
Hasil
yang diperoleh dari studi awal tersebut adalah sebagai berikut. Untuk
pertanyaan pertama mengenai kepahaman siswa tentang bullying. 60 persen siswa menjawab bullying merupakan suatu perilaku mengejek, memperolok-olok, dan
mengucilkan orang lain. 15 persen mengartikan bullying sebagai tindakan menyakiti dengan penyiksaan dan
penindasan, 10 persen menjawab perilaku menjahili teman, 10 persen menjawab
suatu perilaku pencabulan, dan lima persen menjawab bullying yang dilakukan oleh banyak orang sementara korbannya hanya
satu orang.
Pertanyaan
kedua mengenai faktor yang mempengaruhi perilaku bullying, jawabannya beragam dan penulis mengklasifikasikan ke
dalam lima yaitu kepribadian (iseng, jahil, hobi, seru-seruan, bercanda,
cemburu, benci, humoris, pemarah, dan nyebelin) sebanyak 65 %, 15 persen karena
kemampuan dari korban yang kurang, ikut-ikutan teman sebanyak 10 persen, lima
persen karena memiliki pengalaman yang pernah dialami sebelumnya, dan lima
persen terakhir adalah karena pola asuh orang tua.
Pertanyaan
ketiga mengenai tempat yang sering dijadikan tempat bullying. 75 persen menjawab sekolah sebagai tempat yang sering
terjadinya bullying (Kelas, kantin,
extrakulikuler), 15 persen di sosial media, sisanya menjawab di jalan raya dan
pasar sebagai tempat terjadinya bullying.
Pertanyaan terakhir yaitu mengenai masalah yang muncul yang diakibatkan
dari perilaku bullying. Diperoleh 85
persen menganggap perilaku bullying dapat
menyebabkan masalah baik pada korban maupun pelaku, diantaranya adalah pemalu,
prestasi menurun, rendah diri, dendam, korban kemungkinan menjadi pelaku di
kemudian hari. Dan hanya 15 persen menganggap tidak ada masalah pada perilaku bullying, karena dianggap itu hanya
hiburan semata.
Dari
hasil survey dan studi pendahuluan terlihat adanya dampak negatif dari perilaku
bullying. Adapun dampak negatif dari
tindakan bullying antara lain, bagi
korban akan menghindar dari tempat yang ramai atau penyendiri, menjadi seorang
yang terisolasi, cenderung untuk tidak pergi ke sekolah, mengalami kesulitan
dalam berinteraksi dengan lingkungan sekitar, akademik menurun.
Adapun
orang-orang yang menjadi korban bullying menurut
SEJIWA (2008) ia akan merasa kecil, kemungkinan besar menderita depresi dan
kurang percaya diri dalam masa dewasa. Pada pelaku kemungkinan akan terlibat
dalam tindak kriminal di kemudian hari dan memiliki mental yang buruk (Yen, I-MeiLin, Tai-LingLiu, Huei-FanHu,
& Cheng, 2014). Anak yang menjadi korban bullying biasanya ia menderita secara fisik, dan psikis. Secara
fisik korban merasakan lebam-lebam akibat dari pukulan temannya, dan secara
psikis korban akan merasa rendah diri, kurangnya motivasi belajar, motivasi
bergaul, sering sakit karena mudahnya psikosomatis dan ditemukan korban bullying mengalami sakit perut (Yen, I-MeiLin, Tai-LingLiu, Huei-FanHu,
& Cheng, 2014). bahkan adanya korban yang mencoba bunuh diri (Sejiwa, 2008).
Berdasarkan
hasil wawancara disimpulkan oleh penulis terdapat beberapa faktor yang
mempengaruhi perilaku bullying yaitu
faktor kepribadian, keluarga, dan individu. Hal ini sesuai dengan faktor yang
disampaikan oleh Novianti (2008). Beberapa faktor diyakini menjadi penyebab
terjadinya bullying (Novianti, 2008)
yaitu keluarga, individual, dan sekolah adalah beberapa hal di antaranya. Pertama,
faktor keluarga; pelaku bullying bisa jadi menerima perlakuan bullying pada
dirinya, yang mungkin dilakukan oleh seseorang di dalam keluarga. Lanjutnya,
Anak-anak yang tumbuh dalam keluarga yang agresif dan berlaku kasar akan meniru
kebiasaan tersebut dalam kesehariannya. Kedua, faktor kepribadian; salah satu faktor terbesar
penyebab anak melakukan bullying adalah tempramen. Lanjutnya, Tempramen adalah
karakterisktik atau kebiasaan yang terbentuk dari respon emosional. Ketiga,
faktor sekolah; tingkat pengawasan di sekolah menentukan seberapa banyak dan
seringnya terjadi peristiwa bullying.
Selaras
dengan Novianti, Menurut Moulton (2009) faktor yang mempengaruhi bullying adalah parenting style dimana pada remaja berusia 12-17 tahun di Canada
menunjukkan 38% remaja yang berasal dari keluarga yang tidak melakukan
kekerasan di dalam rumah kadang-kadang melakukan perilaku kekerasan.
Teori
yang disampaikan Novianti Senada dengan penelitian Moulton (2009) faktor yang mempengaruhi bullying adalah kepribadian, dimana
Sifat tertentu kemungkinan meningkatkan mahasiswa tertentu untuk berperilaku bullying kepada orang lain atau menjadi
korban bullying. Serta penelitian Juan
Leuwis dan Fernando Justicia (2006) mengatakan bahwa karakteristik pribadi
tertentu seperti sosialisasi atau impulsif dapat menjelaskan bagaimana
seseorang bereaksi dalam situasi tertentu. Juga Menurut Benitez &
Justicia (2006) pelaku bullying cenderung memiliki sikap empati yang
rendah, impulsif, dominan, dan tidak bersahabat. Dan menurut Emily Ellen Moulton (2009) yang sering muncul saat diamati
adalah bullying dalam bentuk verbal.
Teori diatas didukung oleh hasil penelitian terdahulu yang menguji tentang
pengaruh kepribadian terhadap perilaku bullying
pada siswa SMA Gorontalo. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa ada pengaruh negatif yang signifikan antara
kepribadian dengan perilaku bullying. Semakin tinggi kepribadian seorang siswa,
maka semakin rendah perilaku bullying siswa dan sebaliknya semakin rendah
kepribadian, maka semakin tinggi perilaku bullying pada diri siswa (Usman, Vol.
X No.1 Januari 2013). Hasil penelitian Atfiyanah (2013) juga menyarankan dalam
saran teoritis untuk meneliti mengenai kecenderungan berperilaku bullying yang dipengaruhi oleh
kepribadian dan pola asuh orang tua.
Setelah
mengetahui berbagai fenomena yang menimbulkan penyebab dan dampak negatif yang
ditimbulkan oleh perilaku bullying,
maka peneliti menganggap bahwa bullying bukan
perilaku yang terjadi sebagai fenomena yang biasa terjadi di kalangan remaja. Tetapi,
perlu adanya penanganan yang khusus untuk mengatasi merebaknya perilaku bullying.
Mengingat
fenomena bullying masih marak terjadi
dan dapat menimbulkan dampak negatif, penulis tertarik untuk meneliti lebih
lanjut tentang pengaruh big five
personality dan pola asuh orang tua terhadap kecenderungan berperilaku bullying siswa SMKN 1 Rangkasbitung.
Penelitian ini penting dilakukan untuk memperluas pengetahuan pembaca mengenai
perilaku bullying. Disamping itu,
penelitian ini penting dilakukan untuk mengetahui daerah yang tidak termasuk
kedalam daerah yang memiliki tingkat perilaku bullying yang tinggi ini benar-benar tidak memiliki perilaku bullying atau bahkan ada tapi tidak
terakses oleh media. Jika daerah tersebut terdapat kecenderungan untuk
berperilaku bullying diharapkan untuk
bisa menjadi sarana pencegahan agar tidak terjadi perilaku bullying yang lebih berbahaya lagi. Oleh karenanya penulis
menganggap penelitian ini masih penting untuk diteliti.
Batasan
Permasalahan
Agar penelitian ini
tidak menyimpang dari sasaran yang dikehendaki dan supaya lebih terarah perlu
dilakukan pembatasan masalah, yaitu:
a.
Kecenderungan berperilaku bullying yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah
kecenderungan untuk bertingkah laku dan berperilaku bullying yaitu bersikap negative untuk merendahkan orang lain, untuk
menyakiti orang lain yang melibatkan ketidaksesuaian kekuatan yang dilakukan
secara berulang-ulang. Dalam penelitian ini kecenderungan berperilaku bullying
meliputi bullying fisik,
verbal, dan psikis.
b. Personality
yang dimaksudkan adalah personality big five BFQ-C
(McCrae &
Costa) yaitu Openness, emotional instability, extraversion, agreeableness, conscientiousness.
Costa) yaitu Openness, emotional instability, extraversion, agreeableness, conscientiousness.
c. Pola
asuh orang tua yang dimaksudkan disini adalah pola asuh dari Baumrind,
diantaranya authoritative, authoritarian
parenting, punitive parents.
d.
Siswa yang dimaksudkan dalam penelitian
ini adalah remaja laki-laki dan perempuan kelas X, XI, XII yang berstatus
sebagai pelajar di SMKN 1 Rangkasbitung yang mengikuti organisasi
extrakulikuler di sekolah.
Perumusan
Masalah
a.
Apakah ada pengaruh dimensi-dimensi personality dan dimensi-dimensi pola
asuh orang tua terhadap kecenderungan berprilaku bullying siswa yang mengikuti organisasi extrakulikuler di SMK N 1
Rangkasbitung?
b.
Seberapa besar pengaruh dimensi-dimensi personality, dan pola asuh orang tua
terhadap kecenderungan berprilaku bullying
siswa yang mengikuti organisasi extrakulikuler di SMK N 1 Rangkasbitung?