Syarat TES yang baik
SYARAT
ALAT TES YANG BAIK
Prinsip penggunaan tes psikologi :
- Valid,
reliabel, standarisasi, obyektif, diskriminatif, komprehensif mudah
digunakan.
- Penyelenggaraan
tes psikologi & hal-hal yang perlu diperhatikan didalam
penyelenggaraan tes psikologi.
- Pengendalian
penggunaan tes
- Penguji
yang berkualitas
SYARAT ALAT TES YANG BAIK
Sebuah tes yang dapat dikatakan baik sebagai alat pengukur harus
memenuhi persyaratan tes. Ciri-ciri alat tes yang baik :
Secara
tradisional, validitas didefinisikan sebagai sejauh mana tes mampu mengukur apa
yang didesain untuk diukur. Metode yang menentukan validitas meliputi (1)
Menganalisis isi tes, (2) Menghitung korelasi antara skor pada tes dan skor
pada kriteria yang dimaksud, dan (3) Membuat investigasi karakteristik atau
susunan psikologi tertentu yang diukur dengan tes.
Validitas Isi
Validitas
isi berkaitan dengan apakah isi tes menimbulkan cakupan respon yang mewakili
seluruh domain atau semesta dari keterampilan, pemahaman, dan perilaku lain
yang telah dirancang untuk diukur oleh tes. Jika ahli pokok bahasan setuju
bahwa tes tampak dan bertindak sebagai instrument yang dirancang untuk mengukur
apa yang harus diukur oleh tes, maka dikatakan tes memiliki validitas isi.
Penilaian semacam itu meliputi tidak hanya penampilan item tes, tetapi juga proses kognitif yang terlibat dalam
menjawabnya.
Validitas Kriteria
Validitas
tes kemampuan apapun terdiri dari skor pada tes pencapaian berdasar ukuran atau
standar kriteria yang dapat digunakan untuk perbandingan skor. Contoh kriteria
yang digunakan memvalidasi tes adalah nilai sekolah, peringkat penyelia, dan
angka atau dolar jumlah penjualan. Jika ukuran kriteria tersedia pada saat tes,
consurent validity tes dapat
ditentukan. Jika skor kriteria belum tersedia sampai beberapa saat setelah tes
dilaksanakan, focus menjadi predictive
validity tes.
Concurent Validity
Prosedur
validasi sama waktu digunakan ketika tes dilaksanakan pada orang dengan
berbagai kategori, seperti kelompok diagnostic klinis atau level
social-ekonomi, dengan tujuan menentukan apakah skor tes orang pada satu
kategori pada hakekatnya berbeda dari orang pada kategori lain.
Predictive Validity
Validitas prediksi berkaitan
dengan seberapa akurat skor tes memprediksi skor kriteria, sebagaimana
ditunjukkan oleh korelasi antara skor tes (predictor)
dengan kriteria kinerja masa depan (apa yang diprediksi tes).
2.
Realibilitas
Tidak
ada instrument psikometri yang dapat bernilai kecuali jika instrument ini
merupakan konsisten, atau dapat
diandalkan (reliable). Suatu tes dapat dikatakan reliable, nilai harus
stabil, dependable, dan relative bebas dari kesalahan pengukuran (Fekken, 2000;
Popham, 2002, dalam Santrock, 2005, dalam makalah Psikologi Pendidikan II,
Evaluasi Belajar).
Sehubungan
dengan kriteria yang validitas, dapat dikatakan bahwa validitas dapat mendukung
terbentuknya reliabilitas. Sebuah tes mungkin reliable tetapi tidak valid,
sebaliknya tes yang valid biasanya reliable. (dalam makalah Psikologi
Pendidikan II, Evaluasi Belajar).
3.
Obyektivitas
Pendekatan Objektif atau pendekatan
ilmiah (saintifik) diterapkan dalam penelitian yang sistematik, terkontrol,
empiris, dan kritis atas hipotesis mengenai hubungan yang diasumsikan di antara
fenomena alam. Pendekatan ini memandang bahwa “kebenaran” ditemukan bila kita
dapat menyingkirkan campur tangan manusia ketika melakukan penelitian, dengan kata lain,
mengambil jarak dari objek yang kita teliti.
Dalam konteks ini, pendekatan itu
disebut “objektif” berdasarkan pandangan bahwa objek-objek, perilaku-perilaku,
dan peristiwa-peristiwa eksis di suatu dunia “nyata” yang dapat diamati oleh
pancaindra (penglihat, pendengar, peraba, perasa, pembau), diukur
(dikuantifikasikan), dan diramalkan.
Pendekatan objektif terhadap perilaku manusia
memandang bahwa ada keteraturan dalam realitas social dan dalam perilaku
manusia meskipun keteraturan itu bersifat probabilistik.
Ilmuwan objektivis
mencari hukum-hukum umum dengan menjelaskan variable mana menyebabkan atau
berkorelasi dengan variable lainnya.
Peneliti
mulai dengan suatu kerangka teoritis, merumuskan suatu hipotesis dan secara
logis mendeduksi apa atau bagaimana seharusnya hasil penelitian jika hasil
hipotesis itu benar. Dengan kata lain, prosesnya dimulai dengan aksioma-aksioma
yang mapan, dengan prosedur yang menghaluskan dan memperbanyak apa yang sudah
diketahui. Hipotesis
itu harus dapat diuji secara objektif lewat pengukuran empiris dan pengamatan
dalam dunia nyata.
Untuk
menguji hipotesis tersebut, kita harus mengoperasionalisasikan
variable-variabel yang terkandung dalam hipotesis dan menguji hipotesis
tersebut secara empiris dan logis. Pengujian ini dapat dilakukan lewat
eksperimen, survey, atau analisis isi (kuantitatif). Bila hipotesis itu teruji
kita memiliki hukum yang sifatnya tentative. Bila hipotesis itu tidak teruji,
kita harus mencari penjelasan (hipotesis) lain yang mungkin. Prosesnya bersifat
sirkuler —dari teori ke hipotesis ke pengujian empiris dan logis dan kembali ke
teori.
Kaum
objektivis berpendapat, hingga derajat tertentu perilaku manusia dapat
diramalkan, meskipun ramalan tersebut tidak _, setepat ramalan perilaku alam.
Dengan kata lain, hukum-hukum .yang berlaku pada perilaku manusia bersifat
mungkin (probabilistik). Misalnya, kalau mahasiswa lebih rajin belajar, mereka (mungkin)
akan mendapatkan nilai lebih baik.
Dua
varian pendekatan objektif adalah pendekatan behavioristik dan pendekatan struktural. Kedua pendekatan itu mirip dalam arti
sama-sama memandang perilaku manusia disebabkan oleh kekuatan-kekuatan di luar
kemauan mereka sendiri. Rangsangan dalam lingkungan luar tersebut mempengaruhi
mereka untuk memberi respons dan bereaksi terhadap suatu objek dengan cara-cara
yang teratur dan karena itu dapat diramalkan. Suatu jaringan bersifat kausal
menghubungkan semua aspek penting perilaku manusia dengan lingkungan. Meskipun
manusia sendiri dianggap memiliki inisiatif untuk bertindak, manusia lebih
dianggap merespons situasi dengan suatu cara yang berdasarkan hukum yang nyaris
seperti yang berlaku dalam dunia fisik. Realitas harus ditemukan dalam perilaku
manusia yang nyata, dapat diamati secara cermat (diukur atau
dikuantifikasikan), dan diramalkan.
Pendekatan structural
(fungsional) terhadap perilaku manusia, yang tingkat deterministik-nya sedikit
di bawah pendekatan behavioristik, juga bergantung pada pengamatan "ilmiah"
atas perilaku luar (overt behavior). Pendekatan struktural juga menolak
gagasan-gagasan tentang jiwa,spirit, kemauan, pikiran, introspeksi, kesadaran,
subjektivitas, dan sebagainya, karena konsep-konsep itu tidak dapat diamati
secara objektif. Ringkasnya, pendekatan struktural terhadap manusia berusaha
mengukur pengaruh struktur sosial terhadap identitas, respons dan perilaku
manusia melalui peran (role), sosialisasi, dan keanggotaan kelompok mereka.
Pendekatan ini jelas menekankan orientasi peran dalam arti bahwa ia memandang
manusia pada dasarnya ditentukan secara sosial {socially-determined).
Dalam
ilmu komunikasi, pendekatan objektif sering disebut Perspektif Hukum Peliput
(Covering-Law Perspective). Perspektif ini, sebagaimana perspektif objektif
dalam cabang-cabang ilmu sosial lainnya, berkaitan dengan asumsi positivisme
logis, yang juga disebut empirisme logis. Positivisme logis menyebutkan hanya
ada dua cara untuk mengetahui: Pertama, verifikasi langsung melalui data
pengindra; dan kedua, penemuan lewat logika. Jadi bila kita tidak dapat
mengamati suatu fenomena (bila tidak mempunyai suatu rujukan
empiris), atau bila
eksistensinya tidak dapat diperoleh
lewat logika, kita tidak pernah dapat mengetahui bahwa fenomena itu eksis.
Standardisasi
dan replikasi adalah penting dalam pandangan objektif karena ilmuwan menganggap
bahwa dunia mempunyai ben-tuk yang diamati, dan mereka menganggap tugas mereka
adalah mengamatinya. Dunia menunggu untuk ditemukan, dan tujuan ilmu adalah
mengamati dan menjelaskan dunia secermat mungkin. Menurut kaum objektivis,
karena tidak ada cara berdasarkan wahyu sekalipun untuk mengetahui seberapa
akurat pengamatan seseorang, ilmuwan harus mengandalkan kesepakatan di antara
para pengamat. Itu sebabnya objektivitas dan replikabilitas menjadi penting.
Bila semua pengamat yang terlatih melaporkan hasil yang sama, orang bisa yakin
bahwa fenomena itu telah diamati secara akurat. Oleh karena tekanannya pada
penemuan dunia yang dapat diketahui, metode-metode ilmiah terutama sesuai untuk
problem - problem alam.
Kaum objektivis mengakui bahwa objektivitas ilmu sosial (perilaku manusia) memang tidak setegas objektivitas ilmu (perilaku) alam. Akan tetapi, menurut mereka, manusia juga tidak bebas sama sekali
Kaum objektivis mengakui bahwa objektivitas ilmu sosial (perilaku manusia) memang tidak setegas objektivitas ilmu (perilaku) alam. Akan tetapi, menurut mereka, manusia juga tidak bebas sama sekali
4. Mudah
(Praktikabilitas)
Sebuah tes dikatakan memiliki
praktikabilitas yang tinggi apabila tes tersebut itu bersifat praktis, mudah
peng-administrasiannya.
Tes
yang praktis adalah tes yang :
ü Mudah
dilaksanakan, misalnya tidak menurut peralatan yang banyak dan memberi
kebebasan dahulu bagian yang di anggap mudah oleh siswa.
ü Mudah
pemeriksaannya, artinya bahwa tes itu dilengkapi dengan kunci jawaban maupun
pedoman skoringnya. Untuk soal bentuk obyektif, pemeriksaan akan lebih mudah
dilakukan jika dikerjakan oleh siswa dalam lembar jawaban.
ü Dilengkapi
dengan petunjuk-petunjuk yang jelas sehingga dapat diberikan/diawali oleh orang
lain.
5. Ekonomis
(Murah)
Yang dimaksud
dengan ekonomis disini ialah bahwa pelaksanaan tes tersebut tidak membutuhkan
ongkos/biaya yang mahal, tenaga yang banyak dan waktu yang lama.
6. Diskriminasi
Tes
harus mampu menunjukan perbedaan-perbedaan yg kecil mengenai sifat (faktor)
tertentu pada individu yg berbeda-beda. Indeks yg menunjukan diskriminasi
disebut daya pembeda. Dalam analisis beda, arah kecendrungan alternatif jawaban
pada item dipilih menjadi dua, jawaban satu dan dua. Pembagian arah jawaban tes
tidak mengandung arti bahwa jawaban satu lebih baik daripada jawaban dua.
Pembagian tersebut hanya sebagai kode. Bila kemungkinan jawaban suatu item
terdiri dari dua alternatif, maka penentuan arah jawaban dapat dilakukan dengan
mudah
7. Komprehensif
Tes
komprehensif berarti tes tersebut dapat sekaligus menyelidiki banyak hal
misalnya kita harus menyelidiki prestasi individu dalam bahan ujian
tertentu,maka tes yang cukup komprehensif akan mampu mengungkapkan pengetahuan
testi mengenai hal yang dipelajari,juga hal yang mencegah dorongan berspekulasi.
8. Terstandarisasi
Tujuan
utama standardisasi tes adalah untuk menentukan distribusi skor mentah pada
sampel terstandarisasi (kelompok norma).
Skor mentah yang diperoleh tersebut kemudian dikonversikan ke beberapa bentuk
skor turunan atau norma. Tipe utama ini berupa ekuivalen usia, ekuivalen
tingkat, peringkat persentil, dan skor standar.
Ciri
pemillihan sampel terstandardisasi dari populasi bervariasi dari pengambilan
sampel secara acak sederhana (simple
random sampling) sampai strategi pemilihan sampel yang lebih rumit, seperti
pengambilan sampel acak secara terstratifikasi (stratified random sampling) dan pengambilan sampel acak secara cluster (cluster sampling). Pada pengambilan sampel acak sederhana, setiap
orang dalam populasi sasaran memiliki peluang setara untuk dipilih. Akan
tetapi, acak tidak menjamin keterwakilan. Akibatnya, cara lebih tepat untuk
menstandardisasi tes adalah mulai dengan membuat kategori, atau membuat strata (stratifying), populasi berdasar serangkaian variable demografi
(jenis kelamin, usia, status social ekonomi, wilayah geografi, dan lain-lain
yang barangkali berkaitan dengan pemberian skor tes. Kemudian, jumlah individu
dipilih secara acak dari setiap kategori atau strata dibuat proporsional dengan
jumlah total orang pada populasi yang masuk ke strata tersebut. Jika prosedur
pengambilan sampe secara acak terstratifikasi ini dipergunakan, kecenderungan
pemilihan sampel yang bias atau tidak lazim ini diminimalisir.
DAFTAR PUSTAKA
Aiken, Lewis R.
dan Gary G-M.2008. Pengetesan dan
Pemeriksaan Psikologi. PT Macanan Jaya Cemerlang
Anastasi Anne
dan Susana Urbina. 1997. Tes Psikologi. New
Jersey: Prentice Hall
Mulyana,
Deddy. 2001. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya