Kebahagiaan Penghafal Qur'an
Menurut Erikson pada masa remaja adalah masa dimana mencari identitas. Jika identitasnya tercapai maka tidak terjadi konflik di dalam dirinya, dan bisa melanjutkan tahapan perkembangan selanjutnya dengan baik.
Tetapi jika masih terdapat konflik, maka kemungkinan besar tidak bisa mengaktualisasikan dirinya dengan baik dan fase perkembangannya terhambat. Manusia tidak terlepas dengan konflik-konflik di dalam kehidupannya. Ada yang mudah melewati kehidupan yang mengatasi konflik-nya dengan baik. Ada juga yang sulit melewati kehidupan karena masih berfokus pada konflik yang menghambat dirinya. Sebagian orang mengatasi konfliknya dengan emosi yang berbeda-beda. Bisa dengan menggunakan emosi negative berupa marah, kecewa, pesimis dan emosi negative lainnya. Ada juga yang menggunakan emosi positif untuk menghadapi kehidupannya dan mengatasi konfliknya dengan sudut pandang yang berbeda. Melihat masalah dan kehidupannya dengan menggunakan pandangan yang positif. Emosi positif itu bisa berupa senang, kebahagiaan, optimis dan lain-lain. Dengan emosi positif ini manusia bisa bangkit dari keterpurukan, memaknai hidup dan memaksimalkan potensi diri.
Tetapi jika masih terdapat konflik, maka kemungkinan besar tidak bisa mengaktualisasikan dirinya dengan baik dan fase perkembangannya terhambat. Manusia tidak terlepas dengan konflik-konflik di dalam kehidupannya. Ada yang mudah melewati kehidupan yang mengatasi konflik-nya dengan baik. Ada juga yang sulit melewati kehidupan karena masih berfokus pada konflik yang menghambat dirinya. Sebagian orang mengatasi konfliknya dengan emosi yang berbeda-beda. Bisa dengan menggunakan emosi negative berupa marah, kecewa, pesimis dan emosi negative lainnya. Ada juga yang menggunakan emosi positif untuk menghadapi kehidupannya dan mengatasi konfliknya dengan sudut pandang yang berbeda. Melihat masalah dan kehidupannya dengan menggunakan pandangan yang positif. Emosi positif itu bisa berupa senang, kebahagiaan, optimis dan lain-lain. Dengan emosi positif ini manusia bisa bangkit dari keterpurukan, memaknai hidup dan memaksimalkan potensi diri.
Kebahagiaan adalah salah satu emosi positif manusia. Kebahagiaan juga merupakan kajian psikologi positif yang berkembang tahun-tahun terakhir ini, kajiannya meliputi bagaimana orang dapat hidup dengan kelayakan. Dimana kebahagiaan merupakan ciri dari sehat mental. Manusia juga melewati kehidupannya dengan menginginkan kebahagiaan dalam kesehariannya. Setiap individu memiliki cara yang berbeda untuk mendapatkan kebahagiaannya. Yang dapat membuat individu menjadi senang, tentram, dan tidak adanya afek negatif begitu juga dengan para penghafal Qur’an.
Menjadi penghafal Qur’an tentu harus siap berbagai keadaan, baik yang positif maupun yang negative. Keadaan positif ini bisa berupa memaksimalkan waktu dengan sebaik-baiknya karena berinteraksi dengan Qur’an, bahagia, tentram, memiliki kekuatan untuk dapat menjalani tugas-tugas sebagai penghafal dan juga menyelesaikan tugas kuliah serta organisasi bagi yang mengikuti organisasi. Keadaan positif tersebut dapat dirasakan ketika mereka membagi perhatian dunianya melalui interaksi dengan Qur’an melalui hafalan dan menggunakan waktunya dengan baik.
Namun keadaan negatif juga perlu diterima sebagai konsekuensi dari statusnya sebagai penghafal Qur’an tersebut. Keadaan negatif tersebut bisa berupa kurangnya waktu luang untuk berkumpul dengan teman-teman yang bukan dari penghafal, tanggung jawab yang berat, lingkungan sekitarnya yang berbeda dengan lingkungan dia menghafal, lingkungan tempat tinggal yang hedonis dan dekat dengan kota metropolitan maupun tingkat stress yang bertambah akibat perhatiannya yang harus terbagi dengan berbagai hal. Penghafal Qur’an juga harus tekun, kerja keras, konsentrasi penuh, menahan diri dari kegiatan lain, dan rangkaian lain yang harus dilakukan (Shohib & Surur, 2011). Menurut salah seorang santri tahfiz, melihat sesuatu dan dia menyenangi sesuatu itu sehingga sedikit terkenang dalam pikirannya, maka ia akan mengalami kesulitan dalam menambah hafalan (Shohib & Surur, 2011). Dengan keadaan seperti itu menjadi sebuah pertanyaan apakah penghafal Qur’an dapat merasa bahagia.
Dalam wawancara singkat yang penulis lakukan kepada Mahdiah Maimunah (20), penghafal Qur’an di Rumah Qur’an UIN –Ciputat dan juga sebagai mahasiswa jurusan kedokteran yang dilakukan pada tanggal 25 Desember 2014, didapati suatu fenomena bahwa meskipun banyak tantangan dalam menghafal Qur’an, namun ia cenderung bahagia. Ia menganggap bahwa menghafal Qur’an adalah sebagai suatu wujud atas balas budi dirinya kepada orang tua. Dimana ia ingin membalas jasa kepada orang tua dengan menghafalkan Qur’an, agar ia dapat memberikan jubah kepada kedua orang tuanya di akhirat nanti. Ia mengaku semenjak menjadi penghafal Qur’an menjadi kagum dengan waktu sempit yang dimilikinya bisa menyempatkan menghafal Qur’an dan bahkan dapat menyelesaikan tugas kuliahnya dengan baik.
Sedangkan Mitra Rizki (19), penghafal Qur’an di Ma’had Dzinnurain –Ciputat pada tanggal 26 Desember 2014, didapati suatu fenomena bahwa ia bahagia menjadi penghafal Qur’an. Walaupun lingkungan daerah yang ia tinggali sangat dekat dengan menghabur-haburkan uang dan hedonis. Rizki mengaku ia bahagia menjadi penghafal Qur’an karena dengan Qur’an ia dapat dijaga dari perbuatan dosa atau maksiat. Menurutnya dengan menghafal Qur’an itu bisa membuat orang tuanya bangga dan tidak membuat mereka kecewa. Ia juga mengaku bahwa semenjak bergabung menjadi penghafal, sifat buruknya pada masa lalu menjadi berkurang. Jadi secara keseluruhan ia senang dan merasa bahagia dengan kesehariannya menjadi penghafal Qur’an, meskipun kadang ada rasa malas untuk mengulang hafalan kerap kali datang.
Dalam studi pendahuluan selain wawancara, penulis juga menyebarkan angket dengan menggunakan media online di google dokumen pada tanggal 23 Desember 2014. Terdapat 15 orang yang menjadi sampel studi pendahuluan. Pertanyaan yang diajukan yaitu mengenai orang yang berperan penting pada kebahagiannya sebanyak 60% menjawab diri sendiri, dan yang lainnya menjawab keluarga, teman, Tuhan, dan lain-lain. Lalu pertanyaan selanjutnya mengenai faktor yang mempengaruhi kebahagiaan. 75% menjawab teman merupakan faktor yang mempengaruhi kebahagiaan, dan lainnya menjawab menolong orang lain, sabar, qonaah, dan lain-lain yang mempengaruhi kebahagiaan. Setelah ditemukan teman merupakan salah satu faktor yang membuat penghafal Qur’an bahagia, peneliti mencoba menggali kembali menanyakan ke tiga orang secara mendalam. Menurut mereka teman yang seperti apa yang dapat menciptakan kebahagiaan. dan hasilnya ditemukan bahwa persahabatan merupakan faktor yang paling mempengaruhi kebahagian penghafal qur’an.
Selain dari studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti. Ada beberapa media yang memberitakan para remaja di Ciputat yang terdapat fenomena terbalik dengan para penghafal Qur’an. Diantaranya, adanya dua mahasiswa STT Telematika Ciputat yang tewas karena menenggak miras oplosan di kosannya (Rizki, 2014). Mungkin dua mahasiswa tersebut melepaskan kebahagiaannya dengan mengkonsumsi minuman keras, sehingga minuman keras tersebut membawa mereka pada akhir perjalanan kehidupannya. Sedangkan pada fenomena mengenai penghafal Qur’an yaitu duta besar Arab merasa kagum kepada penghafal Qur’an yang menghafalkan Qur’an dengan fasih walaupun tidak dapat berbahasa Arab (Andriarti, 2014). Dari web tersebut diterangkan agar anak merasa senang dengan hafalannya, maka digunakan berbagai metode yang baik dan menyenangkan dalam menghafal. Adapun UIN Syarif Hidayatullah Jakarta memberikan penghargaan dalam program “Student Achievement Award” kepada penghafal Qur’an yang berhasil menghafalkan Qur’an 30 juz (Buletin PRESTASI, 2014). Mungkin hal ini diharapkan mahasiswa tersebut memperoleh kebahagiaan karena telah menjaga Qur’an dengan menghafalkan qur’an
Dalam pemaparan diatas, dapat diketahui bahwa penghafal Qur’an sejatinya merasakan kebahagiaan. Dalam berbagai literatur, bahagia itu ketika harapan dan keinginannya dapat tercapai, seperti harta, kekuasaan, ilmu pengetahuan keimanan, dan ketakwaan (Najati, 2010). Sementara itu Bastaman (2007) dalam bukunya yang berjudul logoterapi, menjelaskan bahwa kebahagiaan (Happiness) yang didambakan setiap manusia merupakan hasil atau ganjaran atas keberhasilan meraih hidup yang bermakna (the meaning full life), makna hidup sendiri merupakan hal-hal yang sangat penting dan berharga serta memberikan nilai khusus bagi seseorang, sehingga layak dijadikan tujuan dalam kehidupan (life purpose in life). Jadi apabila terpenuhi maka kehidupannya akan dirasakan berarti dan akhirnya akan mendapatkan kebahagiaan.
Banyak penelitian yang mencoba menggali faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kebahagiaan. Seperti dalam penelitian Park, Peterson dan Seligman (2004) menemukan bahwa kekuatan karakter ditemukan terdapat hubungan untuk kepuasan hidup seseorang.
Dalam penelitian Park, Peterson dan Seligman (2004) meneliti hubungan antara berbagai kekuatan karakter dan kepuasan hidup. Hasilnya adalah secara konsisten dan kokoh yang terkait kepuasan hidup adalah hope, zest, gratitude, love, dan curiosity. Sementara lemah untuk modesty danthe intellectual strengths of appreciation of beauty, creativity, judgment, dan love of learning. Responden dalam penelitiannya adalah dari tiga sampel relawan dengan rentang usia 35-40 tahun.
Menurut Aristoteles dan Hans (2000, dalam Peterson, Ruch, Beermann, Park & Seligman, 2007) menganggap kakuatan karakter sebagai pemenuhan, beberapa sifat positif yang lebih kuat memprediksi kebahagiaan dan kepuasan hidup dari pada yang lain.
Pada penelitian Peterson, Ruch, Beerman, Park, dan Seligman (2007) meneliti mengenai kekuatan karakter, kepuasan hidup dan kebahagiaan. Menurut mereka kekuatan karakter yang paling terkait dengan kepuasan hidup yaitu love, hope, curiosity, dan zest. Sementara Gratitude merupakan salah satu prediktor yang paling kuat dari kepuasan hidup dalam sampel AS, sedangkan perseverancemerupakan salah satu prediktor yang paling kuat dalam sampel Swiss. Pada kedua sampel, kekuatan karakter yang paling terkait dengan kepuasan hidup dikaitkan dengan orientasi kebahagiaan, keterlibatan, dan makna, yang menyiratkan bahwa kekuatan karakter yang paling memuaskan adalah mereka yang memungkinkan kehidupan yang penuh. Sampel penelitiannya adalah 12439 orang dewasa.
Sementara dalam penelitian Begum (2014) meneliti pengaruh kekuatan karakter (character strengths) terhadap kebahagiaan pada mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah. Hasilnya adalah adanya pengaruh yang signifikan dari kekuatan karakter terhadap kebahagiaan di kalangan mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Kekuatan karakter yang signifikan berpengaruh terhadap kebahagiaannya yaitu gratitude dan spirituality.
Faktor kedua ada beberapa penelitian empiris telah menemukan bahwa persahabatan pada lintas budaya dan kelompok umur yang berbeda ada pengaruhnya dengan kebahagiaan (Demir, Ozen, & Dogan, 2012) , persahabatan berhubungan dengan kebahagiaan dan pemenuhan kebutuhan sebagai mediatornya (Demir & Ozdemir, 2010), dan penemuan ketiga hubungan yang kuat ditemukan untuk kualitas pertemanan terhadap kebahagiaan yang di mediasi oleh capitalization (Demir, Dogan & Procsal, 2013).
Baik pada penelitian sebelumnya, wawancara, dan studi pendahuluan sementara memperlihatkan adanya pengaruh pengaruh kekuatan karakter dan persahabatan terhadap kebahagiaan penghafal Qur'an.
Referensi:
Andriarti, R. (2014, Juli 11). Duta Besar Saudi Terkesan Dengan Penghafal Quran Indonesia. Retrieved Januari 30, 2015, from hidayatullah.com: http://www.hidayatullah.com/berita/nasional/read/2014/07/11/25058/duta-besar-saudi-terkesan-dengan-penghafal-quran-indonesia.html
Begum, N. J. (2014). Pengaruh Kekuatan Karakter (Character Strengths) terhadap Kebahagiaan Pada Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah. Jakarta: tidak di publikasikan.
C.R. Synder, S. J. (2002). Handbook of Positive Psychology. New York: Oxford University Press.
Christopher Peterson, W. R. (2007). Strengths of character, orientations to happiness, and. The Journal of Positive Psychology, 2(3): 149–156.
Demir, M. a., & zdemir, M. O. (2010). Friendship, Need Satisfaction and Happiness. J Happiness Stud, 11: 243–259.
Demir, M., & Ozdemir, M. (2010). Friendship, Need Satisfaction and Happiness. J Happiness Stud, 11:243–259.
Demir, M., Dogan, A., & Procsal, A. D. (2013). I Am So Happy ‘Cause My Friend Is Happy for Me: Capitalization, Friendship, and Happiness Among U.S. and Turkish College Students. The Journal of Social, 153:2,250-255.
Demir, M., Ozen, A., & Dogan, A. (2012). CROSS-CULTURAL NOTES-Friendship, Perceived Mattering and Happiness: A Study of American and Turkish College Students. The Journal of Social Psychology, 152(5), 659–664.
Najati, U. (2010). PSIKOLLOGI QURANI: Dari Jiwa Hingga Ilmu Laduni. Bandung: Marja.
PARK, N., PETERSON, C., & SELIGMAN, M. E. (2004). STRENGTHS OF CHARACTER AND WELL–BEING. Journal of Social and Clinical Psychology, 23;25;603-619.
Rizki, D. (2014, Desember 18). Dua Mahasiswa Tewas Tenggak Oplosan di Ciputat. Retrieved Januari 30, 2015, from http://wartakota.tribunnews.com/: http://wartakota.tribunnews.com/2014/12/18/dua-mahasiswa-tewas-tenggak-oplosan-di-ciputat
Shohib, M., & Surur, M. Y. (2011). Para Penjaga Al-Qur'an: Biografi Para Penghafal Al-Qur'an di Nusantara. Lajnah Pertashihan Mushaf Al-Qur'an.