Aku Sudah Teguh
Pagi itu, bunyi handphoneku berdering. Dan ketika
kulihat nama pemanggilnya ternyata si Ariqah menelponku. Kuambil handphone lalu
ku angkat
“assalamu’alaikum, ada apa Qah?”
“wa’alaikumsalam, gini Shel. Aku ada perlu sama
kamu. Bisa ketemu? Aku pengen curhat sama kamu”
“wah.. iya boleh boleh. Tapi aku ga bisa jam segini.
Gimana kalo jam 10 aja? Maunya dimana?”
“dirumah kamu aja yah.. Ok nanti jam 10 aku ke rumah
kamu ya Shel”
Pembicaraan kami terputus setelah mengucapkan salam.
Sementara aku melanjutkan pekerjaan pagi selayaknya pekerjaan ibu rumah tangga.
Setelah beres-beres rumah, aku langsung bergegas mandi agar ketika Ariqah
datang aku sudah cantik dan wangi.
Jam dinding menunjukkan pukul 10.30, Ariqah belum
jua terlihat batang hidungnya di depan rumah, bahkan untuk memberikkan kabar
lewat handphone saja tidak ada. Akupun langsung mengambil handphone dan
mengirim pesan singkat ke dia.
“Asalam.. Qah, jadi kerumah ndak?” pesan pun aku
kirim kepada Ariqah.
Beberapa menit kemudian jawaban dari Ariqah sampai
di Handphone ku.
“jadi Shel, ntar ya bntar” bunyi balasan yang sangat
khas sekali dari temanku yang satu ini.
Sementara aku menunggu sms berikutnya dari Ariqah.
Akupun buka laptop dan membaca sedikit cerpen-cerpen yang beberapa hari yang
lalu pernah aku buat. Dan ternyata kadang tersenyum sendiri dengan tulisanku.
Aku yang menginginkan menjadi penulis yang hebat tapi tulisannya belum sekeren
orang-orang hebat. Aku terkadang membayangkan jika nanti aku menjadi orang yang
terkenal berkat tulisan aku ini.
Tiga puluh menit kemudian Ariqah menelpon.
“Shelma, aku dah nyampe nih. Tapi aku lupa jalan
masuk gang rumah kamu”
“Iya, nanti aku jemput di ujung gang itu yah”
Telpon langsung aku tutup dan bergegas memakai rok
dan jacket panjang kemudian jalan keujung gang yang aku maksud tadi.
Kamipun bertemu di gang yang kami maksud itu.
Setelah bersalaman, kami jalan kembali menuju rumahku. Diperjalanan kami
bercerita dan bercanda.
Sesampainya dirumah, aku mengajaknya langsung masuk
kedalam kamarku. Setelah beberapa menit kemudian akupun mendengarkan
curhatannya. Aku masuk kedalam cerita itu. Aku merasa kasihan terhadapnya,
karena dia menginginkan lepas dari pacarnya yang sekarang. Pacarnya itu sudah
membuat dia menderita batin selama ini. pacarnya memaksa dia untuk balik lagi
sama dia, padahal Ariqah telah memutuskan hubungannya sama laki-laki itu. Namun,
laki-laki itu tidak mau terima kenyataan itu. Laki-laki itu tetap memaksa agar
Ariqah tetap menjadi kekasihnya.
Ariqah bercerita sampai air matanya keluar bercucuran.
Dia selalu diancam oleh laki-laki itu. Akupun disini berperan sebagai penasehat
mereka.
Laki-laki itu ternyata menginginkan bertemu dengan
Ariqah, namun Ariqah menolak jika dia hanya sendiri , dia mau bertemu dengan
laki-laki itu jika bersamaku. Akupun mau menjadi penengah antara mereka. Ariqah
bersamaku bertemu dengan laki-laki itu di taman terdekat.
Ternyata nama laki-laki itu Chaki,kami bertiga larut
dalam perbincangan yang cukup rumit. Chaki sendiri menurutnya dia telah ikhlas
untuk melepas Ariqah, namun dia meminta Ariqah tetap memberi perhatian
kepadanya, padahal Ariqah sendiri menginginkan benar-benar lepas dari Chaki
karena Ariqah sendiri ingin belajar menjadi akhwat sepenuhnya, yang tidak lagi
pacaran dan dia menginginkan jauh dari hal-hal seperti itu. Beda dengan
pemikirannya Chaki yang mencoba mengalihkan alasan Ariqah, dan dia meminta agar
Ariqah memberikan keringanan terhadapnya, dia tidak ingin Ariqah bersikap
dingin lagi sama dia. Dan dia juga menginginkan Ariqah untuk menjadi penawar dari
rasa sakit yang dia derita, yang menurutnya rasa sakit lambung yang dia derita
disebabkan oleh Ariqah, namun menurut logika ku bahwa itu tidak ada kaitannya.
Namun aku ingat dengan ilmu psikologi dari temanku, bahwa jika manusia menekan
kecemasan dan masalahnya ke dalam alam bawah sadarnya itu akan berpengaruh
kepada fisiknya, walau pertamanya fisik itu tidak terditeksi, lambat laun
menjadi penyakit yang parah.
Aku semakin rumit disini, aku tidak berpihak
terhadap satu diantara mereka berdua. Aku harus tegas, aku menyerahkan solusi
kepada mereka sendiri. Dan tetap kepada pendiriannya masing-masing Ariqah tetap
menginginkan perpisahan sementara Chaki menginginkan syarat agar Ariqah tetap
memanggilnya dengan sebutan “sayang” kepadanya walaupun mereka sudah berpisah.
Ariqah tetap tidak menginginkan hal itu terjadi. Aku coba menjadi penengah
kembali, namun Chaki tetap tidak mau kalah dengan keinginannya itu. Chaki malah
membongkar aib mereka sendiri di depan aku. Aku coba beri tahu Chaki, ‘biarlah
aib kalian, disimpan sendiri. Jangan malah diberitahu kepada saya. Saya disini
sebagai penengah. Bukan ingin mendengar aib yang pernah kalian lakukan’.
Akhirnya perbincangan itu terhenti setelah aku
mengajak Ariqah untuk menyudahi perdebatan itu. Karena menurutku itu bukan
malah mencari jalan keluar, tapi mencari jalan untuk kembali seperti dulu. Dan
mungkin jika dilanjutkan akan menjadi
perdebatan yang panjang. Aku dan Ariqah meninggalkan tempat kami mengobrol
tadi.
Setelah berjalan sedikit jauh, ternyata Chaki mengikuti
kita. Chaki melirih berkata “Tolonglah, saya sakit. Tolong untuk antar saya ke
rumah sakit”. Kamipun saling berpandangan satu sama lain. Ariqah angkat bicara
“Iya diantar, tapi bersama Shelma”. Chaki langsung merespon dengan cepat
“sudahlah, jangan bawa Shelma, biar Shelma pulang dulu, Chaki pengen kamu Qah
yang ngantar ke rumah sakitnya”. “ga bisa, aku bukan siapa-siapa kamu lagi. Aku
itu ga bisa nganter kamu jika hanya berdua”. Chaki akhirnya menyetujuinya. Dan
kamipun ke rumah sakit. Namun belum masuk kedalam, Chaki duduk di depan rumah
sakit itu.
“loh ko ga masuk Chak” tanyaku kepada Chaki,
“bentar, aku pengen ngobrol dulu sama Ariqah”.
Akupun terdiam. Mereka masih membicarakan mengenai
aib mereka tersebut, yang Chaki inginkan adalah memberitahu orangtua Ariqah
mengenai semua hal yang pernah mereka lakukan, namun Chaki sendiri ingin
memberitahukannya bersama Ariqah didepan orangtua Ariqah. Sementara dengan muka
yang tegang Ariqah bicara sangat murka, dan dia tidak menginginkan permainan
gila Chaki. Dia pergi berlalu meninggalkan Chaki, dan akupun mengejarnya. Tidak
jauh dari tempat duduk itu kami terhenti oleh panggilannya Chaki. Chaki tetap
mengancam itu kepada Ariqah. Dan akupun semakin bingung dengan kondisi seperti
ini.
Ariqah tetap menghindar dari Chaki, dan akupun
berjalan cepat mengikuti Ariqah. Dan seperti biasa Chaki mengikuti kami
dibelakang dan merengek meminta agar diberi keringanan atas pengambil keputusan
yang di ambil oleh Ariqah, Chaki tetap menginginkan agar Ariqah kembali lagi ke
dia, dengan ancaman aibnya itu akan dibeberkan kepada orangtua Ariqah sendiri.
Dan setelah capek aku melihat adegan yang seperti di sinetron-sinetron
Indonesia, akupun meminta mereka berhenti sejenak, sementara aku biarkan Ariqah
berjalan meninggalkan kami. Aku akhirnya memberikan penjelasan kepada Chaki
agar Chaki menghormati keputusan yang diambil Ariqah, dan aku memberitahu
Chaki, jika memang Chaki mau membuka aib itu, aku membolehkannya, namun dengan
syarat jangan membukanya didepan Ariqah. Namun dia marah terhadapku, karena aku
telah ikut campur terlalu jauh.
“Sudahlah kamu Shelma, kamu tidak usah ikut campur
dalam masalah ini. Dan cukup sampai disini saja kamu menolong kami. Biarkan
saya selesaikan dengan Ariqah” Chaki
murka terhadapku. Akupun tidak mau kalah dengan redaksi yang dilontarkan oleh
Chaki. “Chaki, tapi buktinya lihat sendiri. Ariqah sudah tidak mau lagi bicara
dengan kamu mengenai hal ini”.
Aku melihat Ariqah sudah menghilang dari pandangan
kami, sedikit aku bersyukur. Agar Chaki sendiri tidak mengejar Ariqah kembali.
Setelah berbincang sedikit mengenai itu, akupun pamit duluan pulang. Namun
dia sempat bertanya mengenai kemana
Ariqah pergi. Namun sedikit aku berbohong jika aku tidak tahu menahu, padahal
baru saja Ariqah bilang jika dia ada di toko yang ada di dekat pasar.
Aku berjalan cepat, dan mengambil arah yang sedikit
menjauh dan rumit. Agar tidak terlihat jejak aku untuk menemui Ariqah di toko
itu.
Setelah sampainya di toko itu, aku mengajaknya berjalan
cepat dan masuk ke kampung-kampung menuju sungai agar rasa yang ada di hati
Ariqah menjadi tenang dan sedikit relax. Dan Ariqah pun kembali menjatuhkan air
matanya didepan ku. Aku coba sebisa ku, agar Ariqah tetap sabar dan tabah serta
teguh.
Setelah beberapa menit di depan sungai, kami kembali
berjalan menuju rumahku. Sesampai dirumah, Ariqah mengajak ku untuk belajar
masak, masak jamur crispy. Ehm.. Yummi..,