Musafir 4 Hari
Baru inilah saya memberanikan diri untuk
jalan menelusuri daerah orang bagian Barat kota Bogor. Awalnya tidak percaya
saya akan melakukan ini. Tapi, kenyataannya yah memang saya telah berani
melakukannya.
Malam Selasa tepatnya tgl 11 Januari 2014
pukul 20.00 WIB mendapatkan sms dari adik kelas bernama Restu. "Teh,
gimana kabarnya? teteh mau ikut jadi surveyor dapil III (Bogor dan Cianjur)
besok jam 1 di Ciputat" yah kira-kira begitulah isi smsnya. tanpa basa-basi
saya langsung membalasnya dengan meminta tolong teman di WA untuk membalas
pesan tersebut. Akhir percakapan saya yang intinya saya siap menjadi surveyor
di daerah tersebut. karena saya tidak mengetahui lamanya survey itu, saya hanya
membawa peralatan tulis saja.
Barulah saya sadar ternyata survey itu
dilakukan pada hari Rabu tepatnya tgl 12-15 Januari 2014. berbagai fikiran
silih berganti untuk merubah keputusan. tapi, apalah jadinya belum juga pedang
di tebaskan saya sudah mundur. akhirnya saya tetap mengambil keputusan untuk
mengikuti sistem menjadi surveyor di daerah tersebut. walaupun belum ada
bayangan tempat tinggal yang akan saya singgahi nanti disana.
Nourul yang tidak lain juga ikut sebagai
relawan survey dapil III ini berkali-kali menanyakan kesiapan saya. entahlah,
mungkin dia kurang siap karena hari terakhir survey itu adalah hari pembayaran
uang kuliahnya. saya pun mencoba meyakinkan nya, untuk menjadi surveyor secepat
mungkin sehingga sebelum hari H bisa pulang. Akhirnya Nourul mengikuti saran
ku.
Masih di hari
Selasa, saya mengirimkan pertanyaan di beberapa group di Whats App mengenai
daerah yang akan menjadi tempat saya survey. Kelurahan Balumbang Jaya Kec.Bogor
Barat. Dari segitu banyak grup yang saya ikuti, hanya satu yang memberikan
petunjuk lengkap kelurahan tersebut. yaitu grup KUTUB (Komunitas Tahajud
Berantai). ternyata orang yang memberikan petunjuk itu adalah orang yang
berdomisili di daerah tersebut. Satu masalah kegamangan tempat itu telah
terpecahkan. namun beralih ke masalah pakaian dan ongkos untuk kesana. karena
memang saya tidak tahu bahwa harus menginap selama 4 hari itu saya hanya
membawa uang secukupnya hanya untuk pergi ke Ciputat. dan saya pun lupa untuk
membawa kunci kosan.
Beberapa orang yang tinggal di kosan saya
hubungi. dan syukur semuanya bisa diatasi. saya bisa tidur malam itu, dan
ongkos untuk berangkat ke daerah survey sudah ditanggung oleh lembaga survey
tersebut.
Hari Rabu, 12 Februari 2014
Pagi itu selepas subuh, Saya dan Nourul
berangkat bersama menuju terminal Baranangsiang. darisana kami mulai berpisah,
saya menaiki angkutan umum No 03 dan Nourul naik No 08. Lingkungan yang baru
menurut ku ini, masih bertanya-tanya dimanakah terminal laladon itu. ah
pertanyaan klasik yang harus ditanyakan ke penumpang lainnya. akhirnya dengan
keberanian ku, aku bertanya ke perempuan yang sedang asik melamun.
"Mba, Maaf kalau terminal laladon
dimana yah?", Mba tersebut sedikit mengerutkan kening dan tidak lama
kemudian menjawab "tidak tahu mba, maaf". akhirnya saya berdiam diri
kembali, menerka-nerka jauhnya perjalanan yang di tempuh ke terminal laladon.
Lalu, saya memberanikan diri untuk menanyakan pertanyaan kedua mengenai ongkos
kendaraan itu. "Mba, biasanya ongkos disini berapa yah Mba?" Mba
tersebut mengerutkan kening kembali, dan tidak lama diapun menjawab "tidak
tahu mba" sambil tersenyum. Pertanyaan ketiga saya lontarkan kembali
"Kalau angkutan umum kampus dalam itu naik dari mana yah Mba?" tanya
ku tanpa malu, yang kuingat pepatah mengatakan 'malu bertanya sesat di jalan'.
akhirnya mba itu cukup panjang menjawab pertanyaan kali ini. "Oh, Mba mau
ke kampus dalam?" sayapun menganggukkan kepala. "Saya juga naik
angkutan itu, nanti mba turun bareng saya saja. nanti bareng kita kesana"
Dari situlah kami pun berkenalan. Entahlah karena saya sulit mengingat nama
yang baru saya kenal, saya lupa namanya, dia kuliah di salah satu jurusan di
IPB, dia semester empat. cukup itu yang kuingat dalam perkenalan singkat itu.
Sesudah sampai di pemberhentian terakhir
angkutan itu, kami turun. saat mengantri membayar angkutan, dia ternyata
menyodorkan uang dan membayari ku pada sopir angkutan itu. Ah, sikap baik itu
yang saya tidak suka, karena akan membuat saya canggung. Saya coba membayarnya
langsung kepada mba tersebut tapi dia membalasnya dengan 'nanti saja'.
Lanjut saya menaiki angkutan kampus
dalam. Barulah saya tersadarkan, ternyata yang dimaksud angkutan ‘kampus dalam’
adalah pesanggrahan IPB. ‘ah, inikan saya pernah dulu kesini, mencari makanan
ringan sewaktu DM 1 KAMMI UIN di Bogor’
Saya melanjutkan perjalanan dengan menaiki angkutan ‘kampus dalam’. “Bang, ke kelurahan Balumbang Jaya?” Tanya ku ke supir angkot memastikan angkutan yang saya naiki, agar tidak salah menaiki angkutan. “Iya neng, tapi nanti diterusin naik ojeg aja yah. Soalnya angkot ga ke kelurahan” Jawab sang supir sambil mengendarai angkutannya.
Setengah jam berlalu, pertigaan ‘kampus dalam’ saya di turunkan oleh sopir angkot. Dan dilanjutkan dengan kendaraan motor yang sedang memarkir di pertigaan kampus dalam, cukup dengan melambaikan tangan, tukang ojeg pun langsung turun dan bergegas menyalakan motornya.
Melewati beberapa belokan dan pohon-pohon disekitarnya. Saya mencoba menguras ingatan tempat yang dilalui. ‘Oh ya, saya pernah kesini’. Amazing. Tempatnya tidak jauh dari ingatan. Tempat ini luar biasa, jauh dari angkutan umum. Jika ingin menyusuri kelurahan ini harus menggunakan motor, karena antara rt satu dengan rt lainnya cukup jauh jaraknya.
“ini bang lima ribu kan?” saya menyodorkan uang lima ribu-an, setelah tepat di depan kantor kelurahan Balumbang Jaya. “Iya neng, mau ditunggu gak?” Tanya tukang ojeg sambil mengambil uang lima ribuan yang disodorkan oleh ku. “oh tidak usah bang, karena ini cukup lama” Jawab ku singkat. Setelah mengucapkan kata terimakasih, saya langsung memasuki kantor kelurahan dan tukang ojegpun berputar lagi kembali ke tempat pangkalannya.
Ketika saya menanyakan keberadaan Pak Lurah ke Bapak yang saya prediksi dia adalah salah satu PNS di kantor itu. Namun, pertanyaan saya tidak digubris, malah dia balik bertanya saya darimana. Saya pun menjelaskan asal kampus saya dan tujuan saya ke kelurahan tersebut. Dia pun faham, lalu mempersilahkan saya menunggu di meja tunggu tamu di sebelah kanan.
“Neng, bentar yah. Sekertarisnya lagi ada tamu dulu. Dan Pak lurahnya masih dijalan”. Bapa PNS tadi mendekati ku dan meminta surat pengantar dari lembaga terkait. Saya menyodorkan beberapa surat pengantar. Setelah itu kembali pada lamunan, menunggu Pa lurah tiba.
Saya melanjutkan perjalanan dengan menaiki angkutan ‘kampus dalam’. “Bang, ke kelurahan Balumbang Jaya?” Tanya ku ke supir angkot memastikan angkutan yang saya naiki, agar tidak salah menaiki angkutan. “Iya neng, tapi nanti diterusin naik ojeg aja yah. Soalnya angkot ga ke kelurahan” Jawab sang supir sambil mengendarai angkutannya.
Setengah jam berlalu, pertigaan ‘kampus dalam’ saya di turunkan oleh sopir angkot. Dan dilanjutkan dengan kendaraan motor yang sedang memarkir di pertigaan kampus dalam, cukup dengan melambaikan tangan, tukang ojeg pun langsung turun dan bergegas menyalakan motornya.
Melewati beberapa belokan dan pohon-pohon disekitarnya. Saya mencoba menguras ingatan tempat yang dilalui. ‘Oh ya, saya pernah kesini’. Amazing. Tempatnya tidak jauh dari ingatan. Tempat ini luar biasa, jauh dari angkutan umum. Jika ingin menyusuri kelurahan ini harus menggunakan motor, karena antara rt satu dengan rt lainnya cukup jauh jaraknya.
“ini bang lima ribu kan?” saya menyodorkan uang lima ribu-an, setelah tepat di depan kantor kelurahan Balumbang Jaya. “Iya neng, mau ditunggu gak?” Tanya tukang ojeg sambil mengambil uang lima ribuan yang disodorkan oleh ku. “oh tidak usah bang, karena ini cukup lama” Jawab ku singkat. Setelah mengucapkan kata terimakasih, saya langsung memasuki kantor kelurahan dan tukang ojegpun berputar lagi kembali ke tempat pangkalannya.
Ketika saya menanyakan keberadaan Pak Lurah ke Bapak yang saya prediksi dia adalah salah satu PNS di kantor itu. Namun, pertanyaan saya tidak digubris, malah dia balik bertanya saya darimana. Saya pun menjelaskan asal kampus saya dan tujuan saya ke kelurahan tersebut. Dia pun faham, lalu mempersilahkan saya menunggu di meja tunggu tamu di sebelah kanan.
“Neng, bentar yah. Sekertarisnya lagi ada tamu dulu. Dan Pak lurahnya masih dijalan”. Bapa PNS tadi mendekati ku dan meminta surat pengantar dari lembaga terkait. Saya menyodorkan beberapa surat pengantar. Setelah itu kembali pada lamunan, menunggu Pa lurah tiba.
Tidak lama ada seorang laki-laki, terlihat usianya masih muda. Kira-kira dia baru memiliki anak dua orang.
“Neng, saya liat suratnya Neng” Ujar bapa PNS tadi kepada saya yang lagi duduk menunggu kedatangan Pak lurah. Saya pun langsung mengambil berkas yang dimaksud. Kembali pada lamunan setelah bapa PNS tadi menghilang.
“Neng, Itu ke bapanya silahkan” Ujar bapa PNS tadi.
Saya pun langsung berjalan kearah bapak yang dimaksud, dan ternyata bapa yang dimaksud itu adalah bapa-bapa yang terlihat memiliki anak dua. Tidak berpanjang kalam, saya akhirnya menjelaskan tujuan saya di tempat tersebut. Bapa itu ternyata bernama Leonal, meminta surat dari KesBangPol. Yang tadinya saya tidak tahu surat yang dimaksud itu sudah ada di kumpulan berkas-berkas. Saya pun mencarinya terlebih dahulu.
Setelah kurang lebih 30 menit kami bercakap ria. Pa Leonal menyuruh saya meminta surat pengantar dari KesBangPol kota Bogor. Tanpa membuang waktu akhirnya saya menurut dan pergi ke KesBangPol kota Bogor. Alhasil disana pun menurut pihak KesBangPol kota mengatakan bahwa berkas-berkas yang saya bawa kurang lengkap, dan menyuruh saya untuk melengkapi terlebih dahulu.
Di tengah terik matahari saya berjalan, mencari sebuah kepastian mengenai surat pengantar itu. Melihat, handphone mati total, dan berniat untuk mencari counter HP dekat kantor.
Setelah saya temukan sebuah counter handphone dekat dengan GOR. Saya memberanikan diri untuk menanyakan jasa charger.
“Mba, ada jasa charger ga? Tanya ku ragu, karena terlihat tidak ada arus listrik yang terhubung ke counter tersebut.
”Ga ada mba, ga ada arus listrik yang terhubung”, benar saja prediksi jawaban ku.
“Kalau counter lagi dimana ya Mba?” Tanya ku tak habis cara.
“Masih jauh mba, harus naik angkot dari sini” Jawaban Mba itu membuat ku terdiam lebih lama.
Berjuang sendiri, tidak ada seorang pun yang saya kenal. Ingin ku hubungi orang-orang untuk membantu mengambil keputusan. Apakah saya harus pulang kembali ke Ciputat, ke Balumbang, atau menunggu semua berkas lengkap baru bisa dimulai perjuangan surveynya.
“Mba, boleh pinjam handphonenya ga? Nanti saya ganti pulsa nya.” Tanya ku, ah mungkin ini salah satu cara untuk menghubungi kordinator survey saya.
Sedikit lama Mba nya merespon. Mungkin berfikir keras, entah takut handphone nya akan diambil, atau bahkan akan dirusak. Entahlah semua persepsi ku mengenai micro expressi nya sangat banyak untuk di jabarkan.
“kartunya pakai apa mba?” Tanya mba tukang counter tersebut. Setelah di cocokkan providernya. Akhirnya saya bisa menghubungi kordinator.
Kordinator saya tertawa ketika saya harus mengurus surat pengantar dari KesBangPol kota. Dia menyarankan agar saya balik lagi ke Balumbang dan melaksanakan survey. Akhirnya dengan nada menyesal dan lelah tiada kira berjalan ke KesBangPol harus menelan pil pahit kesia-siaan.
“Mba, berapa jadinya?”
Mbanya langsung mengecek pulsa terakhir yang telah digunakan.
“Ga usah bayar mba, ga apa-apa” jawabnya dengan senyuman.
Mungkin Mba nya miris dengan kesalahan ku, dan mungkin dia sedikit kasihan kepada ku. Karena, handphone ku mati dan tidak bisa menghubungi siapapun.
“Makasih ya Mba. Oya mba, kalau ke Laladon naik apa yah? Closing question dari saya. Setelah menunggu arahan dari mbanya. Saya akhirnya pamit berangkat ke tempat tujuan selanjutnya.
Setiba di kelurahan Balumbang Jaya
Dengan hati bimbang untuk memasuki kantor kelurahan. ‘masuk ga yah’. Akhirnya memutuskan untuk tetap masuk ke dalam kantor kelurahan.
Baru saja melewati pintu pertama, saya langsung disambut Bapa yang terlihat memiliki anak dua orang ini, saya belum sempat berkenalan dengannya.
“Bagaimana Mba sudah ke kesbangpol?” Tanya bapaknya ketika saya sudah dipersilahkan untuk duduk.
“Iya Pa, saya sudah ke kesbangpol. Dan ternyata sudah dibuat oleh kordinator saya, dan coordinator saya akan mengirimkannya besok” Saya mencoba meyakinkan Bapa yang saya kira dia sudah memiliki dua orang anak tersebut.
“Tidak bisa begitu, prosedur itu harus dijalani. Tidak bisa kita mengizinkan mba untuk mengambil data sementara mba belum lengkap persyaratannya”
Saya pun sempat kehabisan alasan untuk berulangkali meyakinkan Bapa ini.
“Pa, sebenarnya saya bisa langsung terjun untuk mengambil data, karena saya sudah memperoleh data di tahun lalu. Tapi, saya ingin legal. Dan memastikan data ini masih sama dengan tahun lalu.”
Bapa itu pun mengernyitkan dahi, kemudian dia langsung mengambil berkas-berkas.
“Oh mungkin yang ini yah. Eh tapi kok datanya ga sama yah” Bapa itu membolak-balik berkas arsipannya sendiri.
Ah, apalagi ini. mana mungkin berkas itu tidak sama. Akhirnya aku tengok isi berkas itu, dan ternyata itu berkas bulan lalu.
“Pa, ini kan berkas bulan lalu. Tahun kemarin rekan saya kesini. Saya juga ga tau siapa yang kesini, karena saya relawan baru”
Bapa tinggi pun datang dan menghampiri.
“Oh dari UIN yah?” Tanya nya setelah melihat jaket yang saya gunakan.
“Iya Pa” Jawab ku singkat dengan menebarkan senyum kebanggaan.
“Oh iya, tahun kemarin ada yang kesini dari UIN” obrolan pun berlanjut dan semakin hangat dengan bapak tinggi itu.
“Pa, boleh minta nomor handphone nya?” Tanya ku setelah obrolan basa-basi menghabiskan waktu produktifku, ditujukkan kepada bapa yang terlihat memiliki dua orang anak.
“Oh iya boleh” setelah menyebutkan nomor handphonenya, saya baru memulai perkenalan. Dari tadi kemana saja fikirku.
Akhirnya saya dibolehkan mengambil data dan melanjutkan aktifitasku mencari responden.
Keluar kantor kelurahan saya tidak melihat satu pun counter handphone. Sesampai di Bogor tadi saya belum bisa menyalakan handphone karena mati total. Setelah bertanya dan di sesatkan. Akhirnya saya menemukan counter handphone. Tepat di depan masjid, lalu masuk gang dan belok ke kiri. Suasana panas yang menyengat, saya memberanikan bertanya kepada pemilik counter tersebut.
“Mba, ada jasa charger ga mba?” Tanya ku bingung, karena di etalase nya tidak ada charger yang disimpan.
“Maksudnya mau charge ya mba? Boleh mba, ga usah bayar mba ga apa-apa” Jawabnya sambil mempersilahkan saya masuk untuk istirahat di dalam rumahnya.
“Wah, makasih ya Mba.” Hati ini tidak dapat memungkiri kebaikan mba ini. setelah merasakan panasnya matahari diluaran sana, akhirnya saya bisa menikmati teduhnya rumah. Dapat meluruskan kaki dan meminum air yang disediakan.
“Mba, kalau mau ditinggal juga ga apa-apa mba” Mba tersebut memberikan nasehat, agar saya tidak menunda mencari responden itu.
Sempat yang terlintas dalam fikiran handphone ku akan mengalami masalah jika ditinggalkan, namun saya memasrahkan semuanya kepada Allah. Dan izin menitipkan handphone untuk pergi shalat di masjid. Dengan senyuman lega, dan sejuknya air wudhu membasahi wajah lesu karena debu jalanan menyerbu wajah ini. Akhirnya aku sungkurkan wajah sujud kepada Allah di waktu dzuhur.
Berjalan dengan yakin, menemukan dengan mudah responden yang di targetkan untuk diwawancarai. Sebelumnya meminta petunjuk pada mba counter tadi mengenai tukang ojeg. Namun, kebetulan sekali saudaranya itu adalah tukang ojeg. Maka dari itu, saya dengan tukang ojeg itu pun membuat kesepakatan untuk mengantarkan saya menemumakan ke-lima RT terpilih. Akhirnya, paman itu menyanggupi nya. Nama paman tersebut Pa Suroso.
“Ini neng, RT 2, silahkan datangi langsung saja rumahnya, mau di tunggu atau ditinggal saja neng?” Pa Roso menunjukkan rumah bercat kuning, karena motor tidak dapat memasuki jalan kecil itu akhirnya saya pun jalan.
“Oh itu, okey Pa. Ditinggal saja ga apa-apa. Nanti saya hubungi bapa lagi yah. Boleh minta nomor handphone nya Pa?” Saya dengan yakin untuk ditinggal oleh Pa Suroso tersebut. Setelah memberikan nomor handphone dan kepastian pembayaran dilakukan setelah saya menyelesaikan tugas saya sebagai surveyor di Kelurahan tersebut. Pa Roso menyanggupinya.
“Neng, saya liat suratnya Neng” Ujar bapa PNS tadi kepada saya yang lagi duduk menunggu kedatangan Pak lurah. Saya pun langsung mengambil berkas yang dimaksud. Kembali pada lamunan setelah bapa PNS tadi menghilang.
“Neng, Itu ke bapanya silahkan” Ujar bapa PNS tadi.
Saya pun langsung berjalan kearah bapak yang dimaksud, dan ternyata bapa yang dimaksud itu adalah bapa-bapa yang terlihat memiliki anak dua. Tidak berpanjang kalam, saya akhirnya menjelaskan tujuan saya di tempat tersebut. Bapa itu ternyata bernama Leonal, meminta surat dari KesBangPol. Yang tadinya saya tidak tahu surat yang dimaksud itu sudah ada di kumpulan berkas-berkas. Saya pun mencarinya terlebih dahulu.
Setelah kurang lebih 30 menit kami bercakap ria. Pa Leonal menyuruh saya meminta surat pengantar dari KesBangPol kota Bogor. Tanpa membuang waktu akhirnya saya menurut dan pergi ke KesBangPol kota Bogor. Alhasil disana pun menurut pihak KesBangPol kota mengatakan bahwa berkas-berkas yang saya bawa kurang lengkap, dan menyuruh saya untuk melengkapi terlebih dahulu.
Di tengah terik matahari saya berjalan, mencari sebuah kepastian mengenai surat pengantar itu. Melihat, handphone mati total, dan berniat untuk mencari counter HP dekat kantor.
Setelah saya temukan sebuah counter handphone dekat dengan GOR. Saya memberanikan diri untuk menanyakan jasa charger.
“Mba, ada jasa charger ga? Tanya ku ragu, karena terlihat tidak ada arus listrik yang terhubung ke counter tersebut.
”Ga ada mba, ga ada arus listrik yang terhubung”, benar saja prediksi jawaban ku.
“Kalau counter lagi dimana ya Mba?” Tanya ku tak habis cara.
“Masih jauh mba, harus naik angkot dari sini” Jawaban Mba itu membuat ku terdiam lebih lama.
Berjuang sendiri, tidak ada seorang pun yang saya kenal. Ingin ku hubungi orang-orang untuk membantu mengambil keputusan. Apakah saya harus pulang kembali ke Ciputat, ke Balumbang, atau menunggu semua berkas lengkap baru bisa dimulai perjuangan surveynya.
“Mba, boleh pinjam handphonenya ga? Nanti saya ganti pulsa nya.” Tanya ku, ah mungkin ini salah satu cara untuk menghubungi kordinator survey saya.
Sedikit lama Mba nya merespon. Mungkin berfikir keras, entah takut handphone nya akan diambil, atau bahkan akan dirusak. Entahlah semua persepsi ku mengenai micro expressi nya sangat banyak untuk di jabarkan.
“kartunya pakai apa mba?” Tanya mba tukang counter tersebut. Setelah di cocokkan providernya. Akhirnya saya bisa menghubungi kordinator.
Kordinator saya tertawa ketika saya harus mengurus surat pengantar dari KesBangPol kota. Dia menyarankan agar saya balik lagi ke Balumbang dan melaksanakan survey. Akhirnya dengan nada menyesal dan lelah tiada kira berjalan ke KesBangPol harus menelan pil pahit kesia-siaan.
“Mba, berapa jadinya?”
Mbanya langsung mengecek pulsa terakhir yang telah digunakan.
“Ga usah bayar mba, ga apa-apa” jawabnya dengan senyuman.
Mungkin Mba nya miris dengan kesalahan ku, dan mungkin dia sedikit kasihan kepada ku. Karena, handphone ku mati dan tidak bisa menghubungi siapapun.
“Makasih ya Mba. Oya mba, kalau ke Laladon naik apa yah? Closing question dari saya. Setelah menunggu arahan dari mbanya. Saya akhirnya pamit berangkat ke tempat tujuan selanjutnya.
Setiba di kelurahan Balumbang Jaya
Dengan hati bimbang untuk memasuki kantor kelurahan. ‘masuk ga yah’. Akhirnya memutuskan untuk tetap masuk ke dalam kantor kelurahan.
Baru saja melewati pintu pertama, saya langsung disambut Bapa yang terlihat memiliki anak dua orang ini, saya belum sempat berkenalan dengannya.
“Bagaimana Mba sudah ke kesbangpol?” Tanya bapaknya ketika saya sudah dipersilahkan untuk duduk.
“Iya Pa, saya sudah ke kesbangpol. Dan ternyata sudah dibuat oleh kordinator saya, dan coordinator saya akan mengirimkannya besok” Saya mencoba meyakinkan Bapa yang saya kira dia sudah memiliki dua orang anak tersebut.
“Tidak bisa begitu, prosedur itu harus dijalani. Tidak bisa kita mengizinkan mba untuk mengambil data sementara mba belum lengkap persyaratannya”
Saya pun sempat kehabisan alasan untuk berulangkali meyakinkan Bapa ini.
“Pa, sebenarnya saya bisa langsung terjun untuk mengambil data, karena saya sudah memperoleh data di tahun lalu. Tapi, saya ingin legal. Dan memastikan data ini masih sama dengan tahun lalu.”
Bapa itu pun mengernyitkan dahi, kemudian dia langsung mengambil berkas-berkas.
“Oh mungkin yang ini yah. Eh tapi kok datanya ga sama yah” Bapa itu membolak-balik berkas arsipannya sendiri.
Ah, apalagi ini. mana mungkin berkas itu tidak sama. Akhirnya aku tengok isi berkas itu, dan ternyata itu berkas bulan lalu.
“Pa, ini kan berkas bulan lalu. Tahun kemarin rekan saya kesini. Saya juga ga tau siapa yang kesini, karena saya relawan baru”
Bapa tinggi pun datang dan menghampiri.
“Oh dari UIN yah?” Tanya nya setelah melihat jaket yang saya gunakan.
“Iya Pa” Jawab ku singkat dengan menebarkan senyum kebanggaan.
“Oh iya, tahun kemarin ada yang kesini dari UIN” obrolan pun berlanjut dan semakin hangat dengan bapak tinggi itu.
“Pa, boleh minta nomor handphone nya?” Tanya ku setelah obrolan basa-basi menghabiskan waktu produktifku, ditujukkan kepada bapa yang terlihat memiliki dua orang anak.
“Oh iya boleh” setelah menyebutkan nomor handphonenya, saya baru memulai perkenalan. Dari tadi kemana saja fikirku.
Akhirnya saya dibolehkan mengambil data dan melanjutkan aktifitasku mencari responden.
Keluar kantor kelurahan saya tidak melihat satu pun counter handphone. Sesampai di Bogor tadi saya belum bisa menyalakan handphone karena mati total. Setelah bertanya dan di sesatkan. Akhirnya saya menemukan counter handphone. Tepat di depan masjid, lalu masuk gang dan belok ke kiri. Suasana panas yang menyengat, saya memberanikan bertanya kepada pemilik counter tersebut.
“Mba, ada jasa charger ga mba?” Tanya ku bingung, karena di etalase nya tidak ada charger yang disimpan.
“Maksudnya mau charge ya mba? Boleh mba, ga usah bayar mba ga apa-apa” Jawabnya sambil mempersilahkan saya masuk untuk istirahat di dalam rumahnya.
“Wah, makasih ya Mba.” Hati ini tidak dapat memungkiri kebaikan mba ini. setelah merasakan panasnya matahari diluaran sana, akhirnya saya bisa menikmati teduhnya rumah. Dapat meluruskan kaki dan meminum air yang disediakan.
“Mba, kalau mau ditinggal juga ga apa-apa mba” Mba tersebut memberikan nasehat, agar saya tidak menunda mencari responden itu.
Sempat yang terlintas dalam fikiran handphone ku akan mengalami masalah jika ditinggalkan, namun saya memasrahkan semuanya kepada Allah. Dan izin menitipkan handphone untuk pergi shalat di masjid. Dengan senyuman lega, dan sejuknya air wudhu membasahi wajah lesu karena debu jalanan menyerbu wajah ini. Akhirnya aku sungkurkan wajah sujud kepada Allah di waktu dzuhur.
Berjalan dengan yakin, menemukan dengan mudah responden yang di targetkan untuk diwawancarai. Sebelumnya meminta petunjuk pada mba counter tadi mengenai tukang ojeg. Namun, kebetulan sekali saudaranya itu adalah tukang ojeg. Maka dari itu, saya dengan tukang ojeg itu pun membuat kesepakatan untuk mengantarkan saya menemumakan ke-lima RT terpilih. Akhirnya, paman itu menyanggupi nya. Nama paman tersebut Pa Suroso.
“Ini neng, RT 2, silahkan datangi langsung saja rumahnya, mau di tunggu atau ditinggal saja neng?” Pa Roso menunjukkan rumah bercat kuning, karena motor tidak dapat memasuki jalan kecil itu akhirnya saya pun jalan.
“Oh itu, okey Pa. Ditinggal saja ga apa-apa. Nanti saya hubungi bapa lagi yah. Boleh minta nomor handphone nya Pa?” Saya dengan yakin untuk ditinggal oleh Pa Suroso tersebut. Setelah memberikan nomor handphone dan kepastian pembayaran dilakukan setelah saya menyelesaikan tugas saya sebagai surveyor di Kelurahan tersebut. Pa Roso menyanggupinya.
Next Time dilanjut