Syarat TES yang baik


SYARAT ALAT TES YANG BAIK

Prinsip penggunaan tes psikologi :
  1. Valid, reliabel, standarisasi, obyektif, diskriminatif, komprehensif mudah digunakan.
  2. Penyelenggaraan tes psikologi & hal-hal yang perlu diperhatikan didalam penyelenggaraan tes psikologi.
  3. Pengendalian penggunaan tes
  4. Penguji yang berkualitas

SYARAT ALAT TES YANG BAIK
Sebuah tes yang dapat  dikatakan baik sebagai alat pengukur harus memenuhi persyaratan tes. Ciri-ciri alat tes yang baik :
                                              
1.      Validitas[1]
Secara tradisional, validitas didefinisikan sebagai sejauh mana tes mampu mengukur apa yang didesain untuk diukur. Metode yang menentukan validitas meliputi (1) Menganalisis isi tes, (2) Menghitung korelasi antara skor pada tes dan skor pada kriteria yang dimaksud, dan (3) Membuat investigasi karakteristik atau susunan psikologi tertentu yang diukur dengan tes.

Validitas Isi
Validitas isi berkaitan dengan apakah isi tes menimbulkan cakupan respon yang mewakili seluruh domain atau semesta dari keterampilan, pemahaman, dan perilaku lain yang telah dirancang untuk diukur oleh tes. Jika ahli pokok bahasan setuju bahwa tes tampak dan bertindak sebagai instrument yang dirancang untuk mengukur apa yang harus diukur oleh tes, maka dikatakan tes memiliki validitas isi. Penilaian semacam itu meliputi tidak hanya penampilan item tes, tetapi juga proses kognitif yang terlibat dalam menjawabnya.

Validitas Kriteria
Validitas tes kemampuan apapun terdiri dari skor pada tes pencapaian berdasar ukuran atau standar kriteria yang dapat digunakan untuk perbandingan skor. Contoh kriteria yang digunakan memvalidasi tes adalah nilai sekolah, peringkat penyelia, dan angka atau dolar jumlah penjualan. Jika ukuran kriteria tersedia pada saat tes, consurent validity tes dapat ditentukan. Jika skor kriteria belum tersedia sampai beberapa saat setelah tes dilaksanakan, focus menjadi predictive validity tes.

Concurent Validity
Prosedur validasi sama waktu digunakan ketika tes dilaksanakan pada orang dengan berbagai kategori, seperti kelompok diagnostic klinis atau level social-ekonomi, dengan tujuan menentukan apakah skor tes orang pada satu kategori pada hakekatnya berbeda dari orang pada kategori lain.

Predictive Validity
Validitas prediksi berkaitan dengan seberapa akurat skor tes memprediksi skor kriteria, sebagaimana ditunjukkan oleh korelasi antara skor tes (predictor) dengan kriteria kinerja masa depan (apa yang diprediksi tes).

2.      Realibilitas
Tidak ada instrument psikometri yang dapat bernilai kecuali jika instrument ini merupakan konsisten, atau dapat diandalkan (reliable). Suatu tes dapat dikatakan reliable, nilai harus stabil, dependable, dan relative bebas dari kesalahan pengukuran (Fekken, 2000; Popham, 2002, dalam Santrock, 2005, dalam makalah Psikologi Pendidikan II, Evaluasi Belajar).
Sehubungan dengan kriteria yang validitas, dapat dikatakan bahwa validitas dapat mendukung terbentuknya reliabilitas. Sebuah tes mungkin reliable tetapi tidak valid, sebaliknya tes yang valid biasanya reliable. (dalam makalah Psikologi Pendidikan II, Evaluasi Belajar).

3.      Obyektivitas
Pendekatan Objektif atau pendekatan ilmiah (saintifik) diterapkan dalam penelitian yang sistematik, terkontrol, empiris, dan kritis atas hipotesis mengenai hubungan yang diasumsikan di antara fenomena alam. Pendekatan ini memandang bahwa “kebenaran” ditemukan bila kita dapat menyingkirkan campur tangan manusia ketika melakukan penelitian, dengan kata lain, mengambil jarak dari objek yang kita teliti.
Dalam konteks ini, pendekatan itu disebut “objektif” berdasarkan pandangan bahwa objek-objek, perilaku-perilaku, dan peristiwa-peristiwa eksis di suatu dunia “nyata” yang dapat diamati oleh pancaindra (penglihat, pendengar, peraba, perasa, pembau), diukur (dikuantifikasikan), dan diramalkan. Pendekatan objektif terhadap perilaku manusia memandang bahwa ada keteraturan dalam realitas social dan dalam perilaku manusia meskipun keteraturan itu bersifat probabilistik.
Ilmuwan objektivis mencari hukum-hukum umum dengan menjelaskan variable mana menyebabkan atau berkorelasi dengan variable lainnya. Peneliti mulai dengan suatu kerangka teoritis, merumuskan suatu hipotesis dan secara logis mendeduksi apa atau bagaimana seharusnya hasil penelitian jika hasil hipotesis itu benar. Dengan kata lain, prosesnya dimulai dengan aksioma-aksioma yang mapan, dengan prosedur yang menghaluskan dan memperbanyak apa yang sudah diketahui. Hipotesis itu harus dapat diuji secara objektif lewat pengukuran empiris dan pengamatan dalam dunia nyata.
Untuk menguji hipotesis tersebut, kita harus mengoperasionalisasikan variable-variabel yang terkandung dalam hipotesis dan menguji hipotesis tersebut secara empiris dan logis. Pengujian ini dapat dilakukan lewat eksperimen, survey, atau analisis isi (kuantitatif). Bila hipotesis itu teruji kita memiliki hukum yang sifatnya tentative. Bila hipotesis itu tidak teruji, kita harus mencari penjelasan (hipotesis) lain yang mungkin. Prosesnya bersifat sirkuler —dari teori ke hipotesis ke pengujian empiris dan logis dan kembali ke teori.
Kaum objektivis berpendapat, hingga derajat tertentu perilaku manusia dapat diramalkan, meskipun ramalan tersebut tidak _, setepat ramalan perilaku alam. Dengan kata lain, hukum-hukum .yang berlaku pada perilaku manusia bersifat mungkin (probabilistik). Misalnya, kalau mahasiswa lebih rajin belajar, mereka (mungkin) akan mendapatkan nilai lebih baik.
Dua varian pendekatan objektif adalah pendekatan behavioristik dan pendekatan struktural. Kedua pendekatan itu mirip dalam arti sama-sama memandang perilaku manusia disebabkan oleh kekuatan-kekuatan di luar kemauan mereka sendiri. Rangsangan dalam lingkungan luar tersebut mempengaruhi mereka untuk memberi respons dan bereaksi terhadap suatu objek dengan cara-cara yang teratur dan karena itu dapat diramalkan. Suatu jaringan bersifat kausal menghubungkan semua aspek penting perilaku manusia dengan lingkungan. Meskipun manusia sendiri dianggap memiliki inisiatif untuk bertindak, manusia lebih dianggap merespons situasi dengan suatu cara yang berdasarkan hukum yang nyaris seperti yang berlaku dalam dunia fisik. Realitas harus ditemukan dalam perilaku manusia yang nyata, dapat diamati secara cermat (diukur atau dikuantifikasikan), dan diramalkan.
Pendekatan structural (fungsional) terhadap perilaku manusia, yang tingkat deterministik-nya sedikit di bawah pendekatan behavioristik, juga bergantung pada pengamatan "ilmiah" atas perilaku luar (overt behavior). Pendekatan struktural juga menolak gagasan-gagasan tentang jiwa,spirit, kemauan, pikiran, introspeksi, kesadaran, subjektivitas, dan sebagainya, karena konsep-konsep itu tidak dapat diamati secara objektif. Ringkasnya, pendekatan struktural terhadap manusia berusaha mengukur pengaruh struktur sosial terhadap identitas, respons dan perilaku manusia melalui peran (role), sosialisasi, dan keanggotaan kelompok mereka. Pendekatan ini jelas menekankan orientasi peran dalam arti bahwa ia memandang manusia pada dasarnya ditentukan secara sosial {socially-determined).
Dalam ilmu komunikasi, pendekatan objektif sering disebut Perspektif Hukum Peliput (Covering-Law Perspective). Perspektif ini, sebagaimana perspektif objektif dalam cabang-cabang ilmu sosial lainnya, berkaitan dengan asumsi positivisme logis, yang juga disebut empirisme logis. Positivisme logis menyebutkan hanya ada dua cara untuk mengetahui: Pertama, verifikasi langsung melalui data pengindra; dan kedua, penemuan lewat logika. Jadi bila kita tidak dapat mengamati suatu fenomena (bila tidak mempunyai suatu  rujukan  empiris),  atau bila eksistensinya  tidak dapat diperoleh lewat logika, kita tidak pernah dapat mengetahui bahwa fenomena itu eksis.
Standardisasi dan replikasi adalah penting dalam pandangan objektif karena ilmuwan menganggap bahwa dunia mempunyai ben-tuk yang diamati, dan mereka menganggap tugas mereka adalah mengamatinya. Dunia menunggu untuk ditemukan, dan tujuan ilmu adalah mengamati dan menjelaskan dunia secermat mungkin. Menurut kaum objektivis, karena tidak ada cara berdasarkan wahyu sekalipun untuk mengetahui seberapa akurat pengamatan seseorang, ilmuwan harus mengandalkan kesepakatan di antara para pengamat. Itu sebabnya objektivitas dan replikabilitas menjadi penting. Bila semua pengamat yang terlatih melaporkan hasil yang sama, orang bisa yakin bahwa fenomena itu telah diamati secara akurat. Oleh karena tekanannya pada penemuan dunia yang dapat diketahui, metode-metode ilmiah terutama sesuai untuk problem - problem alam.
Kaum objektivis mengakui bahwa objektivitas ilmu sosial (perilaku manusia) memang tidak setegas objektivitas ilmu (perilaku) alam. Akan tetapi, menurut mereka, manusia juga tidak bebas sama sekali

4.      Mudah (Praktikabilitas)
Sebuah tes dikatakan memiliki praktikabilitas yang tinggi apabila tes tersebut itu bersifat praktis, mudah peng-administrasiannya.
Tes yang praktis adalah tes yang :
ü  Mudah dilaksanakan, misalnya tidak menurut peralatan yang banyak dan memberi kebebasan dahulu bagian yang di anggap mudah oleh siswa.
ü  Mudah pemeriksaannya, artinya bahwa tes itu dilengkapi dengan kunci jawaban maupun pedoman skoringnya. Untuk soal bentuk obyektif, pemeriksaan akan lebih mudah dilakukan jika dikerjakan oleh siswa dalam lembar jawaban.
ü  Dilengkapi dengan petunjuk-petunjuk yang jelas sehingga dapat diberikan/diawali oleh orang lain.

5.      Ekonomis (Murah)
Yang dimaksud dengan ekonomis disini ialah bahwa pelaksanaan tes tersebut tidak membutuhkan ongkos/biaya yang mahal, tenaga yang banyak dan waktu yang lama.

6.      Diskriminasi
Tes harus mampu menunjukan perbedaan-perbedaan yg kecil mengenai sifat (faktor) tertentu pada individu yg berbeda-beda. Indeks yg menunjukan diskriminasi disebut daya pembeda. Dalam analisis beda, arah kecendrungan alternatif jawaban pada item dipilih menjadi dua, jawaban satu dan dua. Pembagian arah jawaban tes tidak mengandung arti bahwa jawaban satu lebih baik daripada jawaban dua. Pembagian tersebut hanya sebagai kode. Bila kemungkinan jawaban suatu item terdiri dari dua alternatif, maka penentuan arah jawaban dapat dilakukan dengan mudah

7.       Komprehensif
Tes komprehensif berarti tes tersebut dapat sekaligus menyelidiki banyak hal misalnya kita harus menyelidiki prestasi individu dalam bahan ujian tertentu,maka tes yang cukup komprehensif akan mampu mengungkapkan pengetahuan testi mengenai hal yang dipelajari,juga hal yang mencegah dorongan berspekulasi.
8.      Terstandarisasi
Tujuan utama standardisasi tes adalah untuk menentukan distribusi skor mentah pada sampel terstandarisasi (kelompok norma). Skor mentah yang diperoleh tersebut kemudian dikonversikan ke beberapa bentuk skor turunan atau norma. Tipe utama ini berupa ekuivalen usia, ekuivalen tingkat, peringkat persentil, dan skor standar.
Ciri pemillihan sampel terstandardisasi dari populasi bervariasi dari pengambilan sampel secara acak sederhana (simple random sampling) sampai strategi pemilihan sampel yang lebih rumit, seperti pengambilan sampel acak secara terstratifikasi (stratified random sampling) dan pengambilan sampel acak secara cluster (cluster sampling). Pada pengambilan sampel acak sederhana, setiap orang dalam populasi sasaran memiliki peluang setara untuk dipilih. Akan tetapi, acak tidak menjamin keterwakilan. Akibatnya, cara lebih tepat untuk menstandardisasi tes adalah mulai dengan membuat kategori, atau membuat strata (stratifying), populasi berdasar serangkaian variable demografi (jenis kelamin, usia, status social ekonomi, wilayah geografi, dan lain-lain yang barangkali berkaitan dengan pemberian skor tes. Kemudian, jumlah individu dipilih secara acak dari setiap kategori atau strata dibuat proporsional dengan jumlah total orang pada populasi yang masuk ke strata tersebut. Jika prosedur pengambilan sampe secara acak terstratifikasi ini dipergunakan, kecenderungan pemilihan sampel yang bias atau tidak lazim ini diminimalisir.

DAFTAR PUSTAKA
Aiken, Lewis R. dan Gary G-M.2008. Pengetesan dan Pemeriksaan Psikologi. PT Macanan Jaya Cemerlang
Anastasi Anne dan Susana Urbina. 1997. Tes Psikologi. New Jersey: Prentice Hall
Mulyana, Deddy.  2001. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya


[1] Lewis R. Aiken dan Gary G-M, Pengetesan dan Pemeriksaan Psikologi, Cet ke-1, hal119.

Postingan populer dari blog ini